Dahulu saat Jakarta belum menjadi kota besar seperti sekarang. Jakarta utara yang dahulunya merupakan rawa-rawa, hidup seorang wanita dengan anak laki-lakinya yang baru berusia 3 tahun. Wanita itu hidup disebuah gubuk kecil yang terpencil, jauh dari kehidupan masyarakat sekitar. Masyarakat takut dan benci melihat keadaannya yang buruk rupa, dengan kulit yang berkudis dan terus mengeluarkan getah bening. Suaminya pergi meninggalkannya begitu saja tanpa ada kabar, jadilah dia merawat sendiri anaknya dalam keadaan serba kekurangan. Demi menafkahi anaknya, wanita itu mengemis meminta makanan pada orang-orang. Namun kenyataan memang kejam, tak ada satupun diantara mereka yang mempedulikannya. Mau tak mau dia mencari makanan di tempat-tempat pembuangan sampah, berharap mendapatkan makanan sisa yang baru saja dibuang. Begitulah keadaannya setiap hari demi memberi makan anaknya, mengiba dan mengais-ngais sampah. Keadaan anaknya semakin hari semakin memprihatinkan, karena tidak cukupnya gizi yang diterima sang anak.
Saat dia pulang membawa makanan sisa, dia mendapati anaknya tengah terlelap. Dia pun membangunkan anaknya untuk makan, namun anaknya hanya diam. Tubuh kurus anak itu diguncang namun tak juga bangun. Dengan berlinangan air mata, wanita itu mendekap anaknya, sakit kehilangan anak yang sangat disayanginya. Belum cukup derita yang dilaluinya sepeninggal suaminya, anaknya pun harus pergi meninggalkan dia selama-lamanya. Sedih, kesal, marah bercampur aduk dalam perasaan wanita itu. Dia marah pada kenyataan tak tak pernah berpihak padanya. Dia lelah dengan semua derita yang dijalaninya sengan sabar, namun berbuah kesengsaraan.
Malam itu, wanita itu terus mendekap anaknya yang sudah tak bernyawa seakan tak rela anaknya mati. Hembusan angin kencang menghant pintu gubuknya hingga terbuka lebar. Tampak sosok perempuan cantik dengan gaun putih tengah berdiri di depan pintunya.
"Si ... siapa kau?" Tanya wanita itu kaget sambil terus memeluk anaknya.
"Aku Nyai Ronggowulan. Aku datang untuk membantumu." Ujarnya tersenyum.
"Aku tidak buruh bantuan, semua orang sama, tak pernah mau memandang kami." Sahut wanita itu.
"Aku tahu semua derita yang kau alami. Suamimu yang pergi meninggalkanmu, serta teluh yang kau terima dari orang dekatmu sampai kau harus menanggung malu. Aku akan membantumu menjadi cantik seperti dahulu, aku akan membantumu membalaskan dendammu." Tawar Nyai Ronggowulan.
"Dari mana kau tahu semua itu?" tanya wanita itu heran.
"Adinda, aku mengetahui semua tentangmu melebihi dirimu sendiri." Sahutnya menyebutkan nama wanita itu.
"Aku Nyai Ronggowulan. Aku datang untuk membantumu." Ujarnya tersenyum.
"Aku tidak buruh bantuan, semua orang sama, tak pernah mau memandang kami." Sahut wanita itu.
"Aku tahu semua derita yang kau alami. Suamimu yang pergi meninggalkanmu, serta teluh yang kau terima dari orang dekatmu sampai kau harus menanggung malu. Aku akan membantumu menjadi cantik seperti dahulu, aku akan membantumu membalaskan dendammu." Tawar Nyai Ronggowulan.
"Dari mana kau tahu semua itu?" tanya wanita itu heran.
"Adinda, aku mengetahui semua tentangmu melebihi dirimu sendiri." Sahutnya menyebutkan nama wanita itu.
"Aku akan membantumu menjadi cantik seperti dulu, dan membalaskan dendammu pada mereka yang tak mencampakkanmu." Ujar Nyai Ronggowulan. Adinda bimbang, dia masih sedih dengan kepergian anaknya. Setelah berfikir sejenak, akhirnya Adinda angkat bicara.
"Baik, Nyai, apa yang harus aku lakukan?" Tanya Adinda. Nyai Ronggowulan pun memberinya sebutir batu berwarna hijau terang.
"Telan batu itu, maka kau akan kembali cantik dan memiliki kekuatan yang mampu membuat semua lelaki tunduk padamu. Tapi dengan Syarat ..." Nyai Ronggowulan menghentikan omongannya.
"Apa syaratnya, Nyai?" Ujar Adinda tidak sabar.
"Kau harus memakan daging dan jantung anak-anak berusia 10 tahun kebawah setiap Purnama ke 14 setiap 5 tahun sekali, karena kecantikan dan kekuatanmu akan pudar setiap 5 tahun jika kau tidak memakan daging anak-anak." Jelas Nyari Ronggowulan. Adinda tercekat mendengar persyaratan itu, bagaimana mungkin dia memakan daging mentah seorang manusia. Karena tak ada pilihan lain, akhirnya Adinda menyanggupinya.
"Baiklah, telan batu itu sekarang, Adinda." Perintah Nyai Ronggowulan. Adinda pun menelan batu itu, seketika matanya berubah hijau.
Pagi menjelang, Adinda terbangun dan merasakan ada yang menempel di tangan, mulut dan badannya. Lengket berbau anyir. Adinda tersentak kaget melihat tubuhnya penuh darah namun tak ada lagi kudis yang menempel dikulitnya. Dia menoleh kekiri mencari anaknya, dan
"Tidaaaaaaaaakk ...!!!" Adinda menjerit histeris melihat anaknya yang tinggal tulang tanpa daging, tersisa juntaian usus diantara tulang itu. Tubuhnya lemas seketika.
"perjalananmu baru dimulai, Adinda." terdengar bisikan ditelingannya.
=========
"Tidaaaaaaaaakk ...!!!" Adinda menjerit histeris melihat anaknya yang tinggal tulang tanpa daging, tersisa juntaian usus diantara tulang itu. Tubuhnya lemas seketika.
"perjalananmu baru dimulai, Adinda." terdengar bisikan ditelingannya.
=========
Rumah yang besar, tak heran kalau pemiliknya adalah orang yang kaya. Halamannya begitu luas ditanami tanaman hias yang tertata rapi. Nampak beberapa mobil mewah berjejeran di halaman rumah itu. Tiang-tiang kokoh menjulang tinggi pada rumah berlantai 3 itu. Benar-benar sebuah istana impian.
"Nyari siapa, Neng?" satpam rumah itu menyapa dengan ramah. Sukiryo, nama yang tertera diatas saku sebelah kanan nya.
"Ahh, begini pak. Saya disuruh kepala penyalur pembantu dan babysitter untuk datang kemari. Apa benar ini rumah Pak Suryo?" jawabku seramah mungkin.
"Owh babysitter yaa. Tadi tuan sudah pesan sama saya kalau ada yang datang langsung disuruh masuk saja, karena kebetulan Tuan sedang dirumah. Silahkan masuk, Mbak." Sahut pak Sukiryo, lalu mengantarku menemui Pak Suryo, seorang konglomerat dikota ini.
"Permisi, Tuan. Ini orangnya sudah datang." Ucap Pak Sukiryo pada Pak Suryo yang sedang membaca koran di ruang tamunya.
"Oh silahkan duduk." Ucap Pak Suryo mempersilahkanku duduk di kursi yang ada di depannya.
"Silahkan, Mbak." Pak Sukiryo menambahkan, lalu kembali ke posnya di dekat pagar pintu masuk rumah itu.
"Terimakasih, Pak" sahutku sebelum dia berlalu.
"Nama kamu siapa?" Pak Suryo membuka pembicaraan.
"Saya Adinda Maylasari, Pak."
"Berapa usia kamu?"
"21 tahun, Pak"
"Apa pekerjaan kamu sebelumnya?"
"Babbysitter, Pak."
"Kamu siap bekerja disini?"
"Siap, Pak"
"Nyari siapa, Neng?" satpam rumah itu menyapa dengan ramah. Sukiryo, nama yang tertera diatas saku sebelah kanan nya.
"Ahh, begini pak. Saya disuruh kepala penyalur pembantu dan babysitter untuk datang kemari. Apa benar ini rumah Pak Suryo?" jawabku seramah mungkin.
"Owh babysitter yaa. Tadi tuan sudah pesan sama saya kalau ada yang datang langsung disuruh masuk saja, karena kebetulan Tuan sedang dirumah. Silahkan masuk, Mbak." Sahut pak Sukiryo, lalu mengantarku menemui Pak Suryo, seorang konglomerat dikota ini.
"Permisi, Tuan. Ini orangnya sudah datang." Ucap Pak Sukiryo pada Pak Suryo yang sedang membaca koran di ruang tamunya.
"Oh silahkan duduk." Ucap Pak Suryo mempersilahkanku duduk di kursi yang ada di depannya.
"Silahkan, Mbak." Pak Sukiryo menambahkan, lalu kembali ke posnya di dekat pagar pintu masuk rumah itu.
"Terimakasih, Pak" sahutku sebelum dia berlalu.
"Nama kamu siapa?" Pak Suryo membuka pembicaraan.
"Saya Adinda Maylasari, Pak."
"Berapa usia kamu?"
"21 tahun, Pak"
"Apa pekerjaan kamu sebelumnya?"
"Babbysitter, Pak."
"Kamu siap bekerja disini?"
"Siap, Pak"
"Baiklah kalau begitu. Bi Sumi!" Pak Suryo memanggil pembantunya, dan tak lama orang yang dipanggil pun datang.
"Tunjukan kamar Adinda, dia babbysitter yang akan mengasuh Rangga dan Ringgo."
"Baik, Tuan" sahut Bi Sumi, lalu mengantarku menuju kamar pembantu yang ada di bagian belakang rumah itu.
======
"Rangga, Ringgo ayo makan"
"Hore makan ...!" sahut dua anak kembar itu.
"3 bulan disini, kamu sudah akrab sekali denganmu, berbeda dengan yang lain yang tak pernah bertahan lama mengasuh mereka. Sejak kematian ibu mereka, mereka jadi kurang kasih sayang seorang ibu diusia mereka yang masih kecil. Aku harap kamu bisa membantu saya." Ujar Pak Suryo sebelum berangkat kerja dan mengantar Rangga dan Ringgo sekolah. Aku sudah 3 bulan disini, syukurlah mereka berdua sudah akrab denganku. Tak sepertu awal aku kesini, mereka tak mau menerima seorang wanita selain mama mereka. Diusia yang masih 9 tahun, mereka harus kehilangan seorang ibu akibat suatu kecelakaan.
"Tunjukan kamar Adinda, dia babbysitter yang akan mengasuh Rangga dan Ringgo."
"Baik, Tuan" sahut Bi Sumi, lalu mengantarku menuju kamar pembantu yang ada di bagian belakang rumah itu.
======
"Rangga, Ringgo ayo makan"
"Hore makan ...!" sahut dua anak kembar itu.
"3 bulan disini, kamu sudah akrab sekali denganmu, berbeda dengan yang lain yang tak pernah bertahan lama mengasuh mereka. Sejak kematian ibu mereka, mereka jadi kurang kasih sayang seorang ibu diusia mereka yang masih kecil. Aku harap kamu bisa membantu saya." Ujar Pak Suryo sebelum berangkat kerja dan mengantar Rangga dan Ringgo sekolah. Aku sudah 3 bulan disini, syukurlah mereka berdua sudah akrab denganku. Tak sepertu awal aku kesini, mereka tak mau menerima seorang wanita selain mama mereka. Diusia yang masih 9 tahun, mereka harus kehilangan seorang ibu akibat suatu kecelakaan.
Hari ini seperti biasa, rumah semegah ini sepi di siang hari. Hanya ada aku, Bi Sumi, Pak Sukiryo di pos depan, dan Bang Ramli tukang kebun. Di dapur Bi Sumi tengah menyiapkan menu makan siang.
"Wah baunya enak banget, Bi" celetukku.
"Ahh Neng Dinda bisa aja." Jawab Bi Sumi.
"Bi, kalau boleh tahu, kenapa tuan Surya belum cari pengganti istrinya? Usia tuan Surya masih tergolong muda, tampan, mapan, baik lagi."
"Tuan Surya itu sayang banget sama istrinya. Dulu keluarga ini bahagia. Nyonya Lisna itu orangnya baik, cantik, istri idaman yang berbakti pada suami. Tapi suatu kecelakaan terjadi hingga merenggut nyawanya. Waktu Tuan Surya dan kekuarga pergi berlibur, rem mobil tuan Surya blong sampai akhirnya menabrak tiang listrik di pinggir jalan. Rangga,Ringgo dan tuan Surya selamat, namun Nyonya mengalami pendarahan hebat di kepalanya.Akhirnya meninggal dalam perjalanan ke rumah sakit." Jelas Bi Sumi menerawang tragedi yang menimpa tuan Surya.
"Tuan Surya masih belum bisa menerima siapapun untuk menjadi pegganti istrinya, mungkin takkan mencari pengganti. Tuan Surya dan Nyonya Lisna adalah pasangan serasi." Lanjutnya lagi.
"Siapa ya, Bi, kira-kira orang yang mau mencelakakan Tuan Surya?" tanyaku menerawang.
"Didunia pasti selalu ada orang yang tidak senang dengan kebahagiaan orang lain" jawab Bi Sumi.
Tiiiiinn ...! suara klakson mobil Tuan Surya terdengar sampai kedapur, akupun membantu Bi Sumi menyelesaikan santapan siang Tuan Surya.
"Mbak Dindaaa ...!" teriak sikembar memasuki rumah.
"Wah udah pulang yaa? gimana sekolahnya?" tanyaku pada mereka berdua. mereka pun berceloteh menceritakan hari serunya di sekolah. Begitulah mereka sepulang sekolah, dengan antusias menceritakan apa yang mereka alami di sekolah.
*****
"Aku tak bisa menunggu lama lagi, tubuh ini mulai kembali kebentuk semua secara perlahan. Waktunya sudah hampir habis."
"Wah baunya enak banget, Bi" celetukku.
"Ahh Neng Dinda bisa aja." Jawab Bi Sumi.
"Bi, kalau boleh tahu, kenapa tuan Surya belum cari pengganti istrinya? Usia tuan Surya masih tergolong muda, tampan, mapan, baik lagi."
"Tuan Surya itu sayang banget sama istrinya. Dulu keluarga ini bahagia. Nyonya Lisna itu orangnya baik, cantik, istri idaman yang berbakti pada suami. Tapi suatu kecelakaan terjadi hingga merenggut nyawanya. Waktu Tuan Surya dan kekuarga pergi berlibur, rem mobil tuan Surya blong sampai akhirnya menabrak tiang listrik di pinggir jalan. Rangga,Ringgo dan tuan Surya selamat, namun Nyonya mengalami pendarahan hebat di kepalanya.Akhirnya meninggal dalam perjalanan ke rumah sakit." Jelas Bi Sumi menerawang tragedi yang menimpa tuan Surya.
"Tuan Surya masih belum bisa menerima siapapun untuk menjadi pegganti istrinya, mungkin takkan mencari pengganti. Tuan Surya dan Nyonya Lisna adalah pasangan serasi." Lanjutnya lagi.
"Siapa ya, Bi, kira-kira orang yang mau mencelakakan Tuan Surya?" tanyaku menerawang.
"Didunia pasti selalu ada orang yang tidak senang dengan kebahagiaan orang lain" jawab Bi Sumi.
Tiiiiinn ...! suara klakson mobil Tuan Surya terdengar sampai kedapur, akupun membantu Bi Sumi menyelesaikan santapan siang Tuan Surya.
"Mbak Dindaaa ...!" teriak sikembar memasuki rumah.
"Wah udah pulang yaa? gimana sekolahnya?" tanyaku pada mereka berdua. mereka pun berceloteh menceritakan hari serunya di sekolah. Begitulah mereka sepulang sekolah, dengan antusias menceritakan apa yang mereka alami di sekolah.
*****
"Aku tak bisa menunggu lama lagi, tubuh ini mulai kembali kebentuk semua secara perlahan. Waktunya sudah hampir habis."
Bi Sumi pulang kampung karena anaknya sakit, Bang Ramli juga izin pulang karena istrinya melahirkan. Tinggallah aku dan Pak Sukiryo kalau siang begini.
"Inilah waktunya ...."
=====
"Inilah waktunya ...."
=====
"Heeemmmpp ...." Tuan Surya mengerang namun mulutnya tersumpal. Rangga dan Ringgo pun sudah terikat tak jauh darinya. Di gudang belakang rumah belakang itu mereka tersekap. Ruang pengap dengan tumpukan barang-barang bekas, mereka terikat di pojok ruangan itu.
Aku mendekati mereka, dan membuka sumpalan di mulut Tuan Surya.
"Apa yang kau lakukan, Dinda?!" Surya bertanya dengan suara meninggi.
"Aku hanya butuh anakmu, Tuan. Agar aku tetap awet muda hahaha ...." Tawaku menggelegar.
"A ... apa maksudmu?"
"Aku butuh daging balita untuk membuatku selalu awet muda."
"Apa yang kau bicarakan?"
"Aku akan memakan daging anakmu, dan aku akan tetap cantik dan awet muda."
"Wanita iblis! Cepat lepaskan kami, atau aku akan berteriak sampai Pak Sukiryo kesini!" ancam Surya.
Aku mendekati mereka, dan membuka sumpalan di mulut Tuan Surya.
"Apa yang kau lakukan, Dinda?!" Surya bertanya dengan suara meninggi.
"Aku hanya butuh anakmu, Tuan. Agar aku tetap awet muda hahaha ...." Tawaku menggelegar.
"A ... apa maksudmu?"
"Aku butuh daging balita untuk membuatku selalu awet muda."
"Apa yang kau bicarakan?"
"Aku akan memakan daging anakmu, dan aku akan tetap cantik dan awet muda."
"Wanita iblis! Cepat lepaskan kami, atau aku akan berteriak sampai Pak Sukiryo kesini!" ancam Surya.
"Hahaha ... Sukiryo telah kulenyapkan terlebih dahulu. Kini hanya ada kau, aku dan anak-anakmu." Aku pub mendekati Ringgo terlebih dahulu. Anak itu menatap takut padaku, karena aku yang sekarang bukanlah aku yang dulu menyayangi mereka.
"Jangan takut sayang, gak akan sakit kok." Ujarku memperlihatkan pisau padanya, yang siap merenggut nyawanya.
"Hentikaaan ...!" Teriak Surya.
Jlebb! Pisau ku sukses bersarang di dada Ringgo, perlahan pisau kuputar dan kucabut jantungnya.
"Biadab kau, setan! tak kusangka kau wanita iblis. Akan kubunuh kau ...!" Kutuk Surya.
"Hahaha ...." Aku pun melahap jantung Ringgo, tak kupedulikan teriakan-teriakan surya, sedangkan Rangga sudah pingsan di samping mayat Ringgo.
"Teriaklah sesuka hatimu, Surya. Hahaha ... jantung ini begitu manis, balita memang lezat dagingnya hahaha ...." Ucapku sambil terus melahap jantung Ringgo. Kuiris sedikit demi sedikit daging mentah Ringgo, dan kujejalkan kemulutku, kukunyah dan kutelan dihadapan surya.
Jeritannya semakin melemah, mungkin sudah kehabisan tenaga. Aku tak menghiraukannya. Kucongkel kedua mata Ringgo dan kutelan bulat-bulat.
"Ahh nikmat sekali hahaha ...."
"Sudah cukup, hentikan ... hiks hiks ..." terdengar Surya menangia, merdu sekali tangisannya itu.
"Inikah dirimu sebenarnya? iblis berparas manusia. Bodohnya aku sampai jatuh hati padamu yang ternyata wanita iblis." Lanjutnya lagi.
"Aku tak butuh cinta, semua laki-laki sama." Sahutku. Perlahan aku merasa tubuhku kembali muda, padat berisi, garis-garis wajahku mulai menghilang, dan kulit wajahku mengencang.
"Aku rasa sudah cukup untuk 5 tahun yang akan datang." Ujarku.
"Mau kemana kau wanita jalang?!" Seru Surya. Aku pun mendekatinya.
"Terimakasih atas pujiannya, dan juga untuk daging anakmu yang lezat itu hahaha ...."
"Kenapa tak kau bunuh saja kami semua, ha?!"
"Belum waktunya untukmu mati, Surya hahaha ...." Akupun pergi meninggalkan mereka. Sejenak ku menoleh kearah Ringgo, tubuhnya bagian atas tinggal tulang dengan sedikit daging yang menempel, bibirnya terkoyak karena tadi telah aku kunyah. Matanya bolong, karena sudah bersarang di perutku.
Aku pergi menembus pekatnya malam itu dengan bersimbah darah. Menanti waktu berikutnya tuk mencari mangsa, 5 tahun lagi ......
========
"Jangan takut sayang, gak akan sakit kok." Ujarku memperlihatkan pisau padanya, yang siap merenggut nyawanya.
"Hentikaaan ...!" Teriak Surya.
Jlebb! Pisau ku sukses bersarang di dada Ringgo, perlahan pisau kuputar dan kucabut jantungnya.
"Biadab kau, setan! tak kusangka kau wanita iblis. Akan kubunuh kau ...!" Kutuk Surya.
"Hahaha ...." Aku pun melahap jantung Ringgo, tak kupedulikan teriakan-teriakan surya, sedangkan Rangga sudah pingsan di samping mayat Ringgo.
"Teriaklah sesuka hatimu, Surya. Hahaha ... jantung ini begitu manis, balita memang lezat dagingnya hahaha ...." Ucapku sambil terus melahap jantung Ringgo. Kuiris sedikit demi sedikit daging mentah Ringgo, dan kujejalkan kemulutku, kukunyah dan kutelan dihadapan surya.
Jeritannya semakin melemah, mungkin sudah kehabisan tenaga. Aku tak menghiraukannya. Kucongkel kedua mata Ringgo dan kutelan bulat-bulat.
"Ahh nikmat sekali hahaha ...."
"Sudah cukup, hentikan ... hiks hiks ..." terdengar Surya menangia, merdu sekali tangisannya itu.
"Inikah dirimu sebenarnya? iblis berparas manusia. Bodohnya aku sampai jatuh hati padamu yang ternyata wanita iblis." Lanjutnya lagi.
"Aku tak butuh cinta, semua laki-laki sama." Sahutku. Perlahan aku merasa tubuhku kembali muda, padat berisi, garis-garis wajahku mulai menghilang, dan kulit wajahku mengencang.
"Aku rasa sudah cukup untuk 5 tahun yang akan datang." Ujarku.
"Mau kemana kau wanita jalang?!" Seru Surya. Aku pun mendekatinya.
"Terimakasih atas pujiannya, dan juga untuk daging anakmu yang lezat itu hahaha ...."
"Kenapa tak kau bunuh saja kami semua, ha?!"
"Belum waktunya untukmu mati, Surya hahaha ...." Akupun pergi meninggalkan mereka. Sejenak ku menoleh kearah Ringgo, tubuhnya bagian atas tinggal tulang dengan sedikit daging yang menempel, bibirnya terkoyak karena tadi telah aku kunyah. Matanya bolong, karena sudah bersarang di perutku.
Aku pergi menembus pekatnya malam itu dengan bersimbah darah. Menanti waktu berikutnya tuk mencari mangsa, 5 tahun lagi ......
========
"Kebakaran ... kebakaran ... kebakaran ...." Teriak orang-orang sekitar tempat yang terbakar. Suara mobil pemadam menjerit-jerit silih berganti. Air menyembur dari selang pemadam yang berusaha memadamkan sijago merah yank sudah melahap 4 rumah yang berdempetan itu. Perkampungan padat Di Lagoa jakarta utara itu, baru kali ini terjadi kebakaran. Belum jelas penyebab terjadinya kebakaran itu. Dua buah rumah berhasil dipadamkan apinya. Dilantai atas salah satu rumah tampak sesosok wanita berdiri dengan tenang di balik api. seorang pemadam pun menyadari ada orang di rumah itu. Dengan berani dia memasuki rumah itu dan berhasil menyelamatkan wanita itu. Dari rumah yang hampir terbakar keseluruhan itu, sang wanita tak menampakkan raut wajah ketakutan akan api, tubuhnya pun mulus tanpa noda abu. Sang penyelamat tak menyadari hal itu. Dia membawa wanita itu menjauh dari kobaran api. Wanita itu tersenyum manis membuat pemadam yang bernama Hendro itu terpukau. Sadar api belum sepenuhnya padam, dia kembali membantu rekan-rekannya. Api pun berhasil ditaklukan tanpa ada korban jiwa, walau kerugian cukup besar. Wanita tadi masih memperhatikan Hendro dari tempat dia berdiri tadi, Hendro pun menghampirinya.
"Kau tidak apa-apa, Nona?" tanyanya ramah.
"Aku tidak apa-apa kok, terimakasih. Tapi aku tak tahu harus tinggal dimana lagi, aku tak punya saudara disini." Ujar wanita itu dengan raut muka sedih. Hendro pun tersentuh hatinya, tak tega melihat kecantikan wanita itu tergores kesedihan.
"Siapa namamu, Nona?" Tanya Hendro.
"Adinda Maylasari, Pak." Jawab Adinda.
"Aku Hendro, kamu bisa lihat di bajuku ini. Oh ya, apa pekerjaanmu selama ini?" tanya Hendro.
"Kau tidak apa-apa, Nona?" tanyanya ramah.
"Aku tidak apa-apa kok, terimakasih. Tapi aku tak tahu harus tinggal dimana lagi, aku tak punya saudara disini." Ujar wanita itu dengan raut muka sedih. Hendro pun tersentuh hatinya, tak tega melihat kecantikan wanita itu tergores kesedihan.
"Siapa namamu, Nona?" Tanya Hendro.
"Adinda Maylasari, Pak." Jawab Adinda.
"Aku Hendro, kamu bisa lihat di bajuku ini. Oh ya, apa pekerjaanmu selama ini?" tanya Hendro.
"Hmmm kebetulan kami sedang mencari tenaga babysitter. Kami berdua sibuk pada pekerjaan masing-masing, jadi anak kami diasuh oleh pembantu kami. Apa kau bersedia membantu kami?" pinta Hendro.
"Bisa, Pak" Adinda tersenyum manis pada Hendro, membuat Hendro semakin terpukau.
"Kalau begitu, kamu ikut saya sekarang." Ujar Hendro, lalu membawa Adinda menaiki mobil pemadam yang dibawanya tadi.
"Gila loe Ndro, loe kagak takut ama bini loe?" celetuk Slamet rekan kerja Hendro.
"Dia babysitter, Met. Kebetulan gue lagi butuh buat ngasuh Nayla anak gue." Sahut Hendro.
"Lho, itu rumahnya yang kebakar gimana?" tanya Slamet.
"Itu rumah kontrakan, Pak. Biar pemilik rumah yang menyelesaikan." Sahut Adinda lembut.
"Ooo, begitu? Ya udah, Ndro, gue bareng Rusdi aja baliknya." Ucap Slamet langsung menuju ketempat orang yang dia sebut. Memang waktu itu ada 3 unit mobil pemadam.
Mereka pun sampai di rumah Hendri, salah satu komplek perumahan Kelapa Gading. Hendro menyuruh pembantunya yang masih muda bernama Rini untuk menunjukkan kamar Adinda.
Istri Hendro kaget saat mengetahui ada wanita sedang bermain dengan Nayla yang banu berumur 2 tahun itu.
"Siapa kamu?!" Tanya Tania istri Hendro agak meninggi karena kaget.
"Saya Adinda, Nyonya. Saya baru tiba di sini dibawa oleh Pak Hendro." Jelas Adinda.
"Babysitter? Berani sekali mas Hendro mencari Babysitter. Aku tak butuh seorang Babysitter." Ujar Tania dalam hati. Tanpa melanjutkan pembicaraan, Tania menelpon suaminya dan menggendong anaknya. Adinda hanya menunduk terdiam. Dia kembali kekamar yang ditunjukkan Rini tadi. Adinda termenung.
Akhirnya dengan berat hati Tania menerima Adinda sebagai Babysitter buat anaknya, walau dia masih trauma akan kejadian 5 tahun silam yang menimpa kakaknya.
Istri Hendro kaget saat mengetahui ada wanita sedang bermain dengan Nayla yang banu berumur 2 tahun itu.
"Siapa kamu?!" Tanya Tania istri Hendro agak meninggi karena kaget.
"Saya Adinda, Nyonya. Saya baru tiba di sini dibawa oleh Pak Hendro." Jelas Adinda.
"Babysitter? Berani sekali mas Hendro mencari Babysitter. Aku tak butuh seorang Babysitter." Ujar Tania dalam hati. Tanpa melanjutkan pembicaraan, Tania menelpon suaminya dan menggendong anaknya. Adinda hanya menunduk terdiam. Dia kembali kekamar yang ditunjukkan Rini tadi. Adinda termenung.
Akhirnya dengan berat hati Tania menerima Adinda sebagai Babysitter buat anaknya, walau dia masih trauma akan kejadian 5 tahun silam yang menimpa kakaknya.
Tak ada raut wajah manis tang ditunjukkan Tania kepada Adinda. Tania tak pernah mau berbicara pada Adinda, sampai-sampai dia lupa siapa nama Adinda sebenarnya. Akhirnya Tania mengetahui nama asli Adinda dari Rini pembantunya, Tania terkejut mendengar nama 'Adinda Maylasari', nama yang menghancurkan kehidupan kakaknya dulu. Namun Adinda tidak menunjukkan gerak-gerik yang mencurigakan.
Setiap hari Tania selalu menekan Adinda agar dia pergi dari rumahnya. Tania semakin benci karena suaminya terus membela Adinda. Adinda masih bertahan atas tekanan dan cacian yang dilontarkan Tania. Tania selalu mengerjai Adinda tatkala suaminya tidak pulang karena ada urusan diluar kota. Hendro adalah kapten dari pemadam kebakarannya dulu.
Kerap kali Adinda tidak diberi makan, disuruh mencuci dan membersihkan rumah yang merupakan tugas Rini. Adinda hanya pasrah menerima semuanya.
"Kamu gak apa-apa, Adinda?" tanya Rini mendekati Adinda yang sedang termenung dikamarnya.
"Gak apa-apa kok, Rin." Jawab Adinda sambil tersenyum.
"Hmmm ... hari Rabu besok aku mau pulang kampung, kakak aku nikahan dan minta aku menghadirinya. Kamu gak apa-apa kan sendirian?" Ujar Rini.
"Gak apa-apa kok, Rin." Sahutnya masih tersenyum. Rini khawatir pada Adinda akan perlakuan Nyonya nya terhadap Adinda. Rini lah yang selalu menemani Adinda jika Adinda tengah termenung. Entah apa yang dipikirkan Adinda, Rini tak pernah melihat wajah Adinda murung sedikitpun.
Kerap kali Adinda tidak diberi makan, disuruh mencuci dan membersihkan rumah yang merupakan tugas Rini. Adinda hanya pasrah menerima semuanya.
"Kamu gak apa-apa, Adinda?" tanya Rini mendekati Adinda yang sedang termenung dikamarnya.
"Gak apa-apa kok, Rin." Jawab Adinda sambil tersenyum.
"Hmmm ... hari Rabu besok aku mau pulang kampung, kakak aku nikahan dan minta aku menghadirinya. Kamu gak apa-apa kan sendirian?" Ujar Rini.
"Gak apa-apa kok, Rin." Sahutnya masih tersenyum. Rini khawatir pada Adinda akan perlakuan Nyonya nya terhadap Adinda. Rini lah yang selalu menemani Adinda jika Adinda tengah termenung. Entah apa yang dipikirkan Adinda, Rini tak pernah melihat wajah Adinda murung sedikitpun.
Hari itu pun tiba, dimana Rini akan pulang kampung, dan tinggallah Adinda seorang diri mengerjakan tugas Rini sekaligus mengasuh Nayla. Tania semakin menekan Adinda, bahkan sudah bermain fisik. Namun Adinda tetap diam.
"Belum saatnya, sebentar lagi." Ucap sebuah bisikan.
"Belum saatnya, sebentar lagi." Ucap sebuah bisikan.
Hari kamis Tania ada arisan dengan teman-temannya, sedangkan Hendro sedang tidak ada kegiatan. Siang itu Adinda sedang di dapur.
"Adinda, bisa kamu buatkan aku kopi?" Pinta Hendro.
"Baik , Pak." Adinda pun segera membuatkan pesanan majikannya.
"Kenapa tanganmu, Adinda?" tanya Hendro yang melihat luka memar ditangan Adinda. "Oh ini, Pak,kemaren saya terpleset di kamar mandi, Pak." Ujar Adinda berkilah, tak ingin Hendro mengetahui perbuatan Tania itu.
"Ooh, lain kali kamu hati-hati ya." Ujar Hendro.Hendro pun meminum kopi itu sambil membaca koran, tak ada rasa curiga sedikitpun. Nayla sedang asyik bermain sediri disampingnya. Perlahan-lahan Hendro pun mengantuk dan akhirnya tertidur.
"Adinda, bisa kamu buatkan aku kopi?" Pinta Hendro.
"Baik , Pak." Adinda pun segera membuatkan pesanan majikannya.
"Kenapa tanganmu, Adinda?" tanya Hendro yang melihat luka memar ditangan Adinda. "Oh ini, Pak,kemaren saya terpleset di kamar mandi, Pak." Ujar Adinda berkilah, tak ingin Hendro mengetahui perbuatan Tania itu.
"Ooh, lain kali kamu hati-hati ya." Ujar Hendro.Hendro pun meminum kopi itu sambil membaca koran, tak ada rasa curiga sedikitpun. Nayla sedang asyik bermain sediri disampingnya. Perlahan-lahan Hendro pun mengantuk dan akhirnya tertidur.
"Kok perasaan aku tidak enak ya?" Batin Tania yang sedang arisan.
"Ibu-ibu, saya permisi dulu ya, ada urusan mendadak." Pamit Tania. Tania pun segera keluar dan mulai melajukan mobil Jazz merahnya. Tania nampak gelisah, dia merasakan ada hal buruk yang sedang terjadi pada keluarganya. waktu sudah menunjukkan pukul 8 malam, jalanan tampak tak begitu ramai malam Jum'at itu. Lengang.
"Ibu-ibu, saya permisi dulu ya, ada urusan mendadak." Pamit Tania. Tania pun segera keluar dan mulai melajukan mobil Jazz merahnya. Tania nampak gelisah, dia merasakan ada hal buruk yang sedang terjadi pada keluarganya. waktu sudah menunjukkan pukul 8 malam, jalanan tampak tak begitu ramai malam Jum'at itu. Lengang.
Benar saja, ketika Tania sampai dirumahnya dia tidak menemukan siapa-siapa. Sepi dan pintunya terbuka. Dengan mengendap-ngendap, Tania menelusuri rumahnya dengan sebilah belati perak yang diambil di lemari pajangan rumahnya. Tak ada siapa-siapa, sampai dia mendengar suara orang terbekap yang berasal dari belakang rumahnya. Perlahan dia cari asal suara itu. Suara itu berasal dari kamar kosong di samping kamar Rini.
ceklek! Tania membuka pintu dan, alangkah kagetnya dia mendapati suaminya tengah terikat dan mulutnya tersumpal, disampingnya seorang wanita menunduk membelakanginya, wanita itu menoeleh seketika. Adinda dengan mulut yang bersimbh darah menyeringai tajam pada Tania.
"Biadab kau! apa yang kau lakukan?!" Bentak Tania.
"Aku sedang menyantap anakmu hahaha ...." Sahut Adinda dengan tawa yang mengerikan, dia pun melesat kearah Tania.
"Kau harus mati, Tania." Lanjutnya lagi, namun Tania refleks menancapkan belati perak tadi tepat diperut Adinda.
"Bajingan kau wanita iblis, rasakan ini." Tania menancapkan belatinya semakin dalam.
"Aaaaaarrgghh ...!!!" pekik Adinda, lalu terkapar dilantai ruangan itu. Perlahan-lahan tubuhnya mengeriput, darah mengalir dari setiap lubang ditubuhnya. Tubuhnya mengering, bola matanya meloncat dari sarangnya. Adinda terus mengerang mengerikan, sampai akhirnya tubuhnya mengering dan tingal tulang. Ternyata perak itu adalah kelemahan wanta iblis seperti Adinda.
Tania histeris melihat anaknya yang sudah tak utuh lagi, separuh tubuh anaknya sudah habis digerogot oleh Adinda. Bola matanta sudah tidak ada lagi. Isi perut anaknya terberai keluar. Tania tak menyangka kejadian yang menimpa keponakannya Ringgo 5 tahun yang lalu, akan menimpa anak pertamanya. Dia pun melepaskan suaminya.
"Anak kita, Pa, hiks hiks ..." ujar Tania membendung kesedihannya.
"Kita ikhlaskan saja, Ma. Sekarang wanita iblis itu sudah tidak ada lagi." Sahut Hendro yang juga tak mampu membendung kesedihannya.
Sepasang mata memperhatikan mereka dalam kegelapan.
==========
ceklek! Tania membuka pintu dan, alangkah kagetnya dia mendapati suaminya tengah terikat dan mulutnya tersumpal, disampingnya seorang wanita menunduk membelakanginya, wanita itu menoeleh seketika. Adinda dengan mulut yang bersimbh darah menyeringai tajam pada Tania.
"Biadab kau! apa yang kau lakukan?!" Bentak Tania.
"Aku sedang menyantap anakmu hahaha ...." Sahut Adinda dengan tawa yang mengerikan, dia pun melesat kearah Tania.
"Kau harus mati, Tania." Lanjutnya lagi, namun Tania refleks menancapkan belati perak tadi tepat diperut Adinda.
"Bajingan kau wanita iblis, rasakan ini." Tania menancapkan belatinya semakin dalam.
"Aaaaaarrgghh ...!!!" pekik Adinda, lalu terkapar dilantai ruangan itu. Perlahan-lahan tubuhnya mengeriput, darah mengalir dari setiap lubang ditubuhnya. Tubuhnya mengering, bola matanya meloncat dari sarangnya. Adinda terus mengerang mengerikan, sampai akhirnya tubuhnya mengering dan tingal tulang. Ternyata perak itu adalah kelemahan wanta iblis seperti Adinda.
Tania histeris melihat anaknya yang sudah tak utuh lagi, separuh tubuh anaknya sudah habis digerogot oleh Adinda. Bola matanta sudah tidak ada lagi. Isi perut anaknya terberai keluar. Tania tak menyangka kejadian yang menimpa keponakannya Ringgo 5 tahun yang lalu, akan menimpa anak pertamanya. Dia pun melepaskan suaminya.
"Anak kita, Pa, hiks hiks ..." ujar Tania membendung kesedihannya.
"Kita ikhlaskan saja, Ma. Sekarang wanita iblis itu sudah tidak ada lagi." Sahut Hendro yang juga tak mampu membendung kesedihannya.
Sepasang mata memperhatikan mereka dalam kegelapan.
==========
Rini POV
Rini sedang sibuk mempersiapkan acara pernikahan kakaknya. Pestanya tidak terlalu megah, namun meriah karena dihadiri seluruh warga desa Kalirejo yang berada di Sragen Jawa Tengah. Tersirat raut bahagia menghiasi senyum mempelainya, Rini turut senang melihat kakaknya menikah.
Rini sedang sibuk mempersiapkan acara pernikahan kakaknya. Pestanya tidak terlalu megah, namun meriah karena dihadiri seluruh warga desa Kalirejo yang berada di Sragen Jawa Tengah. Tersirat raut bahagia menghiasi senyum mempelainya, Rini turut senang melihat kakaknya menikah.
Tiga hari sudah berlalu sejak pernikahan itu, Arman dan Retno berbulan madu ke Surabaya. Dirumah tinggal Rini, Siska adiknya yang baru berumur 10 tahun, dan ibunya Sutini. Bapak Rini sudah lama meninggal, sehingga Rini mau tak mau merantau ke Jakarta demi menghidupi adik dan ibunya, sedangkan mas Arman tak pernah membantunya. Walau begitu, ibunya yak pernah marah pada Arman lelaki satu-satunya itu.
"Nduk, kapan koe bali kerjo nang jakarta? ( Nak, kapan kamu balik kerja di Jakarta?)" tanya ibunya dengan logat jawa yang kental.
"Seminggu ngkas, Bu. Rini ajeng istirahat riyen. (seminggu lagi, Bu. Rini mau istirahat dulu.)" Sahut Rini lembut. Malam itu mereka tengah berbincang di teras rumah. Desa itu selalu sepi jika malam menjelang, tak seperti di kota yang selalu hidup 24 jam. Di sini pukul 8 malam saja sudah lengang tak ada yang berkeliaran malam.
"Nduk, kapan koe bali kerjo nang jakarta? ( Nak, kapan kamu balik kerja di Jakarta?)" tanya ibunya dengan logat jawa yang kental.
"Seminggu ngkas, Bu. Rini ajeng istirahat riyen. (seminggu lagi, Bu. Rini mau istirahat dulu.)" Sahut Rini lembut. Malam itu mereka tengah berbincang di teras rumah. Desa itu selalu sepi jika malam menjelang, tak seperti di kota yang selalu hidup 24 jam. Di sini pukul 8 malam saja sudah lengang tak ada yang berkeliaran malam.
Bu Sutini pun beranjak masuk kekamar untuk beristirahat disusul Siska. Rini masih termenung di teras rumahnya. Entah kenapa, pikirannya tertuju pada Adinda. Perasaannya tidak tenang, khawatir akan nasib Adinda. Rini belum tahu siapa Adinda sebenarnya. Tak lama kantuk pun menyerang Rini, dia pin beranjak menuju kamar dan tidur.
"Rini, tolong aku ..." ujar Adinda melambaikan tangannya.
"Kamu kenapa, Adinda?" tanya Rini sambil terus mengejar Adinda, namun Adinda seperti terseret mundur. Rini berhenti sejenak, nafasnya terengah-engah mengejar Adinda. Rini memperhatikan sekitarnya, dia berada di hutan. Ada sebuah gubuk kecil dengan diterangi seberkas cahaya seperti cahaya lilin. Rini pun menghampiri gubuk itu. Tanpa permisi dia membuka pintu gubuk itu, dan
"Aaaaaaaaarrgghh ...." Alangkah terkejutnya Rini mendapati sesosok mayat kering, hanya tinggal tulang tanpa daging tergolek lemas dilantai gubuk itu. Sosok itu menoleh dan berkata,
"Tolong aku, Rini, tolong aku ...." lirih sosok itu.
"Si ... si a ... pa kamu?" ucap Rini terbata-bata.
"Aku Adinda, Rin." Lanjut sosok itu yang bernama Adinda.
"Ti ... tidak mungkin kau Adinda." Sahut Rini tidak percaya. Sosok itu pun berdiri dengan susah payah dan menunjukkan gelang yamg diberi Rini dulu.
"Aku Adinda, Rini" ucapnya lagi menunjukkan gelang itu.
"Apa yang terjadi denganmu, Adinda?" tanya Rini, tak terasa air matanya menetes.
"Kemarilah, Rini. Aku butuh bantuanmu." Himbau Adinda. Serasa dihipnotis, Rini pun mendekat. Seiring Adinda menyentuh Rini, sesosok wanita dengan rambut tergerai panjang, badannya yang tulang dibaluti baju kusam, mendekati tubuh Rini yang sedang bermimpi, dan masuk ketubuhnya.
"Kamu kenapa, Adinda?" tanya Rini sambil terus mengejar Adinda, namun Adinda seperti terseret mundur. Rini berhenti sejenak, nafasnya terengah-engah mengejar Adinda. Rini memperhatikan sekitarnya, dia berada di hutan. Ada sebuah gubuk kecil dengan diterangi seberkas cahaya seperti cahaya lilin. Rini pun menghampiri gubuk itu. Tanpa permisi dia membuka pintu gubuk itu, dan
"Aaaaaaaaarrgghh ...." Alangkah terkejutnya Rini mendapati sesosok mayat kering, hanya tinggal tulang tanpa daging tergolek lemas dilantai gubuk itu. Sosok itu menoleh dan berkata,
"Tolong aku, Rini, tolong aku ...." lirih sosok itu.
"Si ... si a ... pa kamu?" ucap Rini terbata-bata.
"Aku Adinda, Rin." Lanjut sosok itu yang bernama Adinda.
"Ti ... tidak mungkin kau Adinda." Sahut Rini tidak percaya. Sosok itu pun berdiri dengan susah payah dan menunjukkan gelang yamg diberi Rini dulu.
"Aku Adinda, Rini" ucapnya lagi menunjukkan gelang itu.
"Apa yang terjadi denganmu, Adinda?" tanya Rini, tak terasa air matanya menetes.
"Kemarilah, Rini. Aku butuh bantuanmu." Himbau Adinda. Serasa dihipnotis, Rini pun mendekat. Seiring Adinda menyentuh Rini, sesosok wanita dengan rambut tergerai panjang, badannya yang tulang dibaluti baju kusam, mendekati tubuh Rini yang sedang bermimpi, dan masuk ketubuhnya.
Udara pagi yang dingin menelusup ke kamar Rini yang terletak di samping rumahnya, yang langsung menghadap pesawahan luas. Rini tak sadar bahwa jendela kamarnya terbuka dari semalam, hembusan angin pagi membangunkannya. Seperti tak pernah terjadi apa-apa, dia pun menuju dapur dan mengambil Wudhu. Selesai sholat dia kembali kekamar untuk melanjutkan tidur, karena waktu masih pukul 5:35 WIB. Di Sragen, waktu itu masih gelap. Ketika Rini hendak menutup jendelanya,
"Astagfirullah hal'adzim ..." tepat didepan jendelanya berdiri sosok Adinda yang kering dan bersimah darah, dia menjulurkan tangannya dan melayang mendekati Rini. Rini menutup jendelanya dan berlari ke ranjangnya.
"Tak usah takut, Rini. Karena sekarang aku adalah kamu hahahaha ...." Ujar Adinda.
"Tidaaaakk ...." Rini pun terbangun. Ternyata dia bermimpi lagi.
Masih terbayang-bayang oleh Rina wajah Adinda yang begitu mengerikan. Tak mau ambil pusing, Rini pun pergi mandi. Di ruang tengah sudah ada ibu dan adiknya Siska yang sudah bersiap berangkat sekolah.
"Wes tangi, Nduk? gek adus ben segeran awakmu. ( Udah bangun, Nak. buruan mandi biar seger badannya. )" Ujar sang ibu.
"Nggeh, Bu. Masak opo, Bu?"
"Sego goreng, iki Ibu arep nganterke adikmu mangkat sekolah. Sego ne neng mejo kui. Ibu mangkat sek yo. ( Nasi goreng, ini ibu mau antar adikmu sekolah. Nasinya ada di meja itu. Ibu berangkat dulu ya.)" Ujar Bu Sutini. Siska pamitan sama Rini dan berangkat sekolah bersama ibunya.
"Astagfirullah hal'adzim ..." tepat didepan jendelanya berdiri sosok Adinda yang kering dan bersimah darah, dia menjulurkan tangannya dan melayang mendekati Rini. Rini menutup jendelanya dan berlari ke ranjangnya.
"Tak usah takut, Rini. Karena sekarang aku adalah kamu hahahaha ...." Ujar Adinda.
"Tidaaaakk ...." Rini pun terbangun. Ternyata dia bermimpi lagi.
Masih terbayang-bayang oleh Rina wajah Adinda yang begitu mengerikan. Tak mau ambil pusing, Rini pun pergi mandi. Di ruang tengah sudah ada ibu dan adiknya Siska yang sudah bersiap berangkat sekolah.
"Wes tangi, Nduk? gek adus ben segeran awakmu. ( Udah bangun, Nak. buruan mandi biar seger badannya. )" Ujar sang ibu.
"Nggeh, Bu. Masak opo, Bu?"
"Sego goreng, iki Ibu arep nganterke adikmu mangkat sekolah. Sego ne neng mejo kui. Ibu mangkat sek yo. ( Nasi goreng, ini ibu mau antar adikmu sekolah. Nasinya ada di meja itu. Ibu berangkat dulu ya.)" Ujar Bu Sutini. Siska pamitan sama Rini dan berangkat sekolah bersama ibunya.
Tiga hari Adinda tidak pernah datang lagi dalam mimpi Rini. Malam itu Rini seperti biasa berkumpul diteras bersama ibu dan Siska. Bercerita bagaimana pengalamannya selama bekerja di Jakarta. Rini menceritakan tentang Adinda pada ibunya, seorang wanita yang tegar menerima cacian dan perlakuan majikannya di matanya. Lalu Rini menceritakan mimpinya 3 hari yang lalu. Tentang Adinda yang mendatanginya dan meminta tolong padanya. Ibunya mencoba menelaah arti mimpi sang anak. Sebagai orang tua, naluri Bu Sutini lebih peka dibanding Rini.
"Ngene lho, Nduk. Mimpi iku kembang tidur, nek koe mimpi koyo ngono, ojo ngasek lali ngucap istighfar ben atimu adem.( Begini, Nak. Mimpi itu bunga tidur, kalau kamu mimpi seperti itu, jangan sampai lupa baca istighfar biar hatimu tenang.)" Ujar Ibu menenangkan.
"Nggeh, Bu. Rosone Adinda kui keno musibah, Bu. Aku wedi nek kelingan rupane. Awak e yo mung tulang tok, mripat e lan irung e kebak darah Bu. Pokok e medeni rupane, Bu. (Iya, Bu. rasanya Adinda itu kena musibah, Bu. Aku takut kalau ingat wajahnya, badannya cuma tinggal tulang, mata dan idungnya penuh darah, Bu. Pokoknga mengerikan wajahnya, Bu)" Terang Rini.
"Yo wes, wes bengi gek ndang turu ojo mbok eling meneh. (Ya sudah, Sudah malam buruan tidur jangan kamu ingat lagi.)" Ucap Ibu menyuruh mereka tidur. Rini pun beranjak kekamarnya, Ibu tidur berdua dengan Siska dikamar lainnya yang terletak bersebelahan dengan kamarnya.
"Aku lapar, Rin. Ini sudah waktunya ..." ujar Adinda lirih. Perlahan tubuh Rini beranjak keluar rumahnya, berjalan entah kemana.
"Ngene lho, Nduk. Mimpi iku kembang tidur, nek koe mimpi koyo ngono, ojo ngasek lali ngucap istighfar ben atimu adem.( Begini, Nak. Mimpi itu bunga tidur, kalau kamu mimpi seperti itu, jangan sampai lupa baca istighfar biar hatimu tenang.)" Ujar Ibu menenangkan.
"Nggeh, Bu. Rosone Adinda kui keno musibah, Bu. Aku wedi nek kelingan rupane. Awak e yo mung tulang tok, mripat e lan irung e kebak darah Bu. Pokok e medeni rupane, Bu. (Iya, Bu. rasanya Adinda itu kena musibah, Bu. Aku takut kalau ingat wajahnya, badannya cuma tinggal tulang, mata dan idungnya penuh darah, Bu. Pokoknga mengerikan wajahnya, Bu)" Terang Rini.
"Yo wes, wes bengi gek ndang turu ojo mbok eling meneh. (Ya sudah, Sudah malam buruan tidur jangan kamu ingat lagi.)" Ucap Ibu menyuruh mereka tidur. Rini pun beranjak kekamarnya, Ibu tidur berdua dengan Siska dikamar lainnya yang terletak bersebelahan dengan kamarnya.
"Aku lapar, Rin. Ini sudah waktunya ..." ujar Adinda lirih. Perlahan tubuh Rini beranjak keluar rumahnya, berjalan entah kemana.
Keesokan harinya, Rini terbangun dengan darah yang sudah mengering ditangan, baju dan wajahnya. Rini shock dan langsung berlari ke sumur membersihkan diri dan membuang bajunya yang penuh darah. Warga dihebohkan dengan hilangnya anak perempuan Pak Wayan yang baru berumur 8 tahun. Setelah ditelusuri, warga menemukan bekas darah yang mengarah pada semak- semak dibelakang rumah Rini. Warga terkejut bukan kepalang menemukan jasad anak Pak Wayan yang hanya tinggal tulang dan isi perutnya yang masih tersisa. Warga yang melihat bergidik ngeri melihatnya, bahkan ada yang muntah-muntah ditempat itu. Tiga hari berturut-turut warga kehilangan anak kecil dan ditemukan dengan kondisi yang sama, namu di tempat yang berbeda. Rini menyadari kalau itu perbuatan Adinda yang menggunakan tubuhnya. Tak tahan, Rini pun menceritakan pada ibunya tentang keadaanya yang selalu terbangun dengan badannya yang penuh darah. Ibunya shock mendengar hal itu, hampir saja pingsan mendengar kenyataan pahit itu. Setelah agak tenang, barulah beliau mulai berfikir.
Bu Sutini melihat kearah Siska, beliau takut kalau Siska yang akan jadi korban, terlebih pelakunya adalah Rini kakaknya sendiri.
Tepat jam 12 malam, Rini kembali didatangi oleh Adinda dalam mimpi.
"Hentikan semua ini, Adinda!" bentak Rini.
"Aku belum akan berhenti sampai kau memakan 5 orang anak, dengan itu aku bebas menggunakan tubuhmu, dan rohmu akan terbelenggu selamanya disini, di alam mimpi hahahaha ...." Tawa Adinda memekakkan telinga Rini.
"Aku bukanlah budakmu, wanita iblis!"
"Sejak kau menyentuhku, saat itulah tubuhmu kukendalikan, walau belum sepenuhnya hahaha ...." Tawa Adinda semakin mengerikan. Sementara itu, tubuh Rini mulai bergerak keluar. Ibunya menyadari suara langkah kaki Rini. Bu Sutini yang sedari tadi belum tidur karena memikirkan nasib anaknya, mulai mengikuti kemana tubuh Rini pergi.
Rini mengarah kerumah Pak Samin yang berada tak jauh rumahnya. Pak Samin memang memiliki seorang anak berusia 9 tahun, Nendy namanya. Bu Sutini kalah cepat dengan Rini, hingga Rini pun berhasil membawa Nendy kedalam semak-semak. Warno dan Trisno yang sedang meronda, melihat Rini yang sedang berlari kedalam semak. Mereka pun mempersiapkan alat mereka dan mengejarnya. Mereka kehilangan jejak dalam semak-semak. Perlahan terdengar suara menggerisik dibalik semak-semak, mereka pun menghampirinya dengan senjata yang sudah siap ditangan mereka. Mereka mulai mendekat dan,
"Ahmmmpp ...." Rini denan lahapnya menyantap tubuh Nendy. Sontak Warno dan Trisno kaget bukan kepalang, tepat didepan mereka seorang wanita kanibal tengah menyantap manusia, terlihat santapannya sudah habis separuh dan usus yang masih kecil itu terbusai keluar, sungguh mengerikan.
Rini menyadari keberadaan mereka, dengan mata yang merah dan mulut serta badan yang penuh darah, Rini menerkam Warno bak; harimau menerkam mangsa.
"Aaaaaarrrgghh ...!" Teriak Warno. Warno terjatuh dan Rini sudah berada diatasnya, wajah mengerikan Rini hendak menggigit Warni, dengan cepat Trisno menancapkan sebuah belati dipunggung Rini.
"Aaaaaarrgghh ...." Teriak Adinda, dan Rini pun kembali pada tubuhnya yang telah tertancap belati. Rini mengerang kesakitan, namun Trisno kembali menusuknya hingga Rini pun meregang nyawa.
Wuuuusshh ....! angin malam berhembus seiring roh Adinda yang keluar dari tubuh Rini.
Bu Sutini melihat kearah Siska, beliau takut kalau Siska yang akan jadi korban, terlebih pelakunya adalah Rini kakaknya sendiri.
Tepat jam 12 malam, Rini kembali didatangi oleh Adinda dalam mimpi.
"Hentikan semua ini, Adinda!" bentak Rini.
"Aku belum akan berhenti sampai kau memakan 5 orang anak, dengan itu aku bebas menggunakan tubuhmu, dan rohmu akan terbelenggu selamanya disini, di alam mimpi hahahaha ...." Tawa Adinda memekakkan telinga Rini.
"Aku bukanlah budakmu, wanita iblis!"
"Sejak kau menyentuhku, saat itulah tubuhmu kukendalikan, walau belum sepenuhnya hahaha ...." Tawa Adinda semakin mengerikan. Sementara itu, tubuh Rini mulai bergerak keluar. Ibunya menyadari suara langkah kaki Rini. Bu Sutini yang sedari tadi belum tidur karena memikirkan nasib anaknya, mulai mengikuti kemana tubuh Rini pergi.
Rini mengarah kerumah Pak Samin yang berada tak jauh rumahnya. Pak Samin memang memiliki seorang anak berusia 9 tahun, Nendy namanya. Bu Sutini kalah cepat dengan Rini, hingga Rini pun berhasil membawa Nendy kedalam semak-semak. Warno dan Trisno yang sedang meronda, melihat Rini yang sedang berlari kedalam semak. Mereka pun mempersiapkan alat mereka dan mengejarnya. Mereka kehilangan jejak dalam semak-semak. Perlahan terdengar suara menggerisik dibalik semak-semak, mereka pun menghampirinya dengan senjata yang sudah siap ditangan mereka. Mereka mulai mendekat dan,
"Ahmmmpp ...." Rini denan lahapnya menyantap tubuh Nendy. Sontak Warno dan Trisno kaget bukan kepalang, tepat didepan mereka seorang wanita kanibal tengah menyantap manusia, terlihat santapannya sudah habis separuh dan usus yang masih kecil itu terbusai keluar, sungguh mengerikan.
Rini menyadari keberadaan mereka, dengan mata yang merah dan mulut serta badan yang penuh darah, Rini menerkam Warno bak; harimau menerkam mangsa.
"Aaaaaarrrgghh ...!" Teriak Warno. Warno terjatuh dan Rini sudah berada diatasnya, wajah mengerikan Rini hendak menggigit Warni, dengan cepat Trisno menancapkan sebuah belati dipunggung Rini.
"Aaaaaarrgghh ...." Teriak Adinda, dan Rini pun kembali pada tubuhnya yang telah tertancap belati. Rini mengerang kesakitan, namun Trisno kembali menusuknya hingga Rini pun meregang nyawa.
Wuuuusshh ....! angin malam berhembus seiring roh Adinda yang keluar dari tubuh Rini.
Rini POV end.
Back to Tania life.
Back to Tania life.
"Bagaimana ini, Mas? mau kita apakan jasad anak kita ini, hiks ... hiks ..." ujar Tania tersedu-sedu.
"Kita makamkan secara layak, Ma, dan mayat Adinda kita kubur saja di tanah belakang." Hendro menenangkan.
"Bakar saja, Mas, mayat wanita iblis itu. Dia sudah merenggut anak kita, Mas."
"Bagaimanapun juga jasadnya manusia, Ma. Biar kita kubur saja, tapi di belakang rumah agar tak mengundang curiga banyak orang."
"Kita makamkan secara layak, Ma, dan mayat Adinda kita kubur saja di tanah belakang." Hendro menenangkan.
"Bakar saja, Mas, mayat wanita iblis itu. Dia sudah merenggut anak kita, Mas."
"Bagaimanapun juga jasadnya manusia, Ma. Biar kita kubur saja, tapi di belakang rumah agar tak mengundang curiga banyak orang."
Seminggu berlalu semenjak kematian Nayla dan Adinda, hanya sebagian keluargan Tania saja yang mengetahui hal itu. Surya kakak Tania shock mendengar kabar mengerikan itu. Hal serupa yang telah merenggut Ringgo salah saru anak kembarnya 5 tahu
yang lalu, sekarang usia Rangga sudah 14 tahun. Surya dan Rangga masih menginap menemani Tania, sebab Hendro harus tetap menjalani tugasnya sebagai Kepala Pemadam.
"Mas benar-benar tidak menyangka kalau Adinda ada di sini." Ucap Surya membuka pembicaraan, setelah lama larut dengab pikiran masing-masing di ruang tengah.
"Aku sudah ada firasat buruk, Mas, sejak wanita setan itu masuk ke rumah ini." Sahut Tania.
"Bagaimama awalnya dia datang kemari, Tania?"
"Mas Hendro yang bawa dia kemari, Mas. Dia korban kebakaran di Lagoa beberapa waktu yang lalu. Mas Hendro terlalu berhati lembut, tak pernah peka akan hal buruk. Mudah sekali iba pada orang yang tak dikenal." Jelas Tania panjang lebar.
"Apa wanita yang mengasuh kami dulu, Pa?" Ucap Rangga yang baru datang dari dapur membawa minuman dingin.
"Iya, Ngga. kamu masih ingat kan?" tanya Surya. ."Bagaimana aku lupa, Pa? di depan aku dia menghabiskan Ringgo, sungguh mengerikan." Rangga bergidik ngeri.
"Lalu, bagaimana dia bisa ku bunuh, Tania?" tanya Surya, karena tadi Tania sempat memberitahukan kematian Adinda.
"Aku menusuknya dengan belati perak yang ada di lemari pajangan itu, Mas." Tania menunjuk ke lemari yang berisi piring-piring hias dan beberapa barang antik.
"Apa yang terjadi saat kau menusuknya?"
"Dia menjerit dan menggelepar di lantai, Mas. Lalu tubuhnya mengerut bersamaan dengan darah yang keluar dari tiap lubang di tubuhnya." Jelas Tania.
"Berarti kelemahannya pada belati itu, Tante." Sahut Rangga.
"Iya, Tania. Sepertinya Rangga benar, atau mungkin perak kelemahannya." Surya menerka-nerka.
"Lalu, darimana belati itu berasal, Tanua?" Lanjutnya lagi.
"Itu aku dapat dari kenalan saya di Solo, Mas." Hendro tiba-tiba saja muncul.
"Owh, sudah pulang kamu, Hend." Sahut Surya.
"Iya, Mas, tadi ada sedikit urusan di kantor, jadi saya telat pulang. Biasanya jam 5 sore sudah di rumah. sekarang sudah jam 7." Jawan Hendro.
"Mau kupanaskan air untuk mandi, Mas?" Ujar Tania.
"Ya, Ma, badanku lengket sekali sepertinya." Sahut Hendro. Tania pun beranjak ke belakang. Obrolan Surya dan Hendro pun berlanjut, Rangga hanya mendengarkan di samping ayahnya.
yang lalu, sekarang usia Rangga sudah 14 tahun. Surya dan Rangga masih menginap menemani Tania, sebab Hendro harus tetap menjalani tugasnya sebagai Kepala Pemadam.
"Mas benar-benar tidak menyangka kalau Adinda ada di sini." Ucap Surya membuka pembicaraan, setelah lama larut dengab pikiran masing-masing di ruang tengah.
"Aku sudah ada firasat buruk, Mas, sejak wanita setan itu masuk ke rumah ini." Sahut Tania.
"Bagaimama awalnya dia datang kemari, Tania?"
"Mas Hendro yang bawa dia kemari, Mas. Dia korban kebakaran di Lagoa beberapa waktu yang lalu. Mas Hendro terlalu berhati lembut, tak pernah peka akan hal buruk. Mudah sekali iba pada orang yang tak dikenal." Jelas Tania panjang lebar.
"Apa wanita yang mengasuh kami dulu, Pa?" Ucap Rangga yang baru datang dari dapur membawa minuman dingin.
"Iya, Ngga. kamu masih ingat kan?" tanya Surya. ."Bagaimana aku lupa, Pa? di depan aku dia menghabiskan Ringgo, sungguh mengerikan." Rangga bergidik ngeri.
"Lalu, bagaimana dia bisa ku bunuh, Tania?" tanya Surya, karena tadi Tania sempat memberitahukan kematian Adinda.
"Aku menusuknya dengan belati perak yang ada di lemari pajangan itu, Mas." Tania menunjuk ke lemari yang berisi piring-piring hias dan beberapa barang antik.
"Apa yang terjadi saat kau menusuknya?"
"Dia menjerit dan menggelepar di lantai, Mas. Lalu tubuhnya mengerut bersamaan dengan darah yang keluar dari tiap lubang di tubuhnya." Jelas Tania.
"Berarti kelemahannya pada belati itu, Tante." Sahut Rangga.
"Iya, Tania. Sepertinya Rangga benar, atau mungkin perak kelemahannya." Surya menerka-nerka.
"Lalu, darimana belati itu berasal, Tanua?" Lanjutnya lagi.
"Itu aku dapat dari kenalan saya di Solo, Mas." Hendro tiba-tiba saja muncul.
"Owh, sudah pulang kamu, Hend." Sahut Surya.
"Iya, Mas, tadi ada sedikit urusan di kantor, jadi saya telat pulang. Biasanya jam 5 sore sudah di rumah. sekarang sudah jam 7." Jawan Hendro.
"Mau kupanaskan air untuk mandi, Mas?" Ujar Tania.
"Ya, Ma, badanku lengket sekali sepertinya." Sahut Hendro. Tania pun beranjak ke belakang. Obrolan Surya dan Hendro pun berlanjut, Rangga hanya mendengarkan di samping ayahnya.
"Sudah siap airnya, Mas. Mandi dulu biar seger badannya." Tania muncul dari dapur.
"Iya, Ma. Aku mandi dulu ya, Mas." Ujar Hendro sambil berlalu kebelakang.
"Pembantumu belum ada kabar, Tania?" tanya Surya.
"Belum, Mas"
"Apa tidak kau coba menghubunginya?"
Sudah aku hubungi dari kemarin, tidak ada jawaban, Mas."
"Coba kau telpon sekarang." Ujar Surya. Tania pun mengambil Hp BB nya dan mengetik beberapa nomor.
"Tersambung, Mas." Ucap Tania.
"Halo, dengan Rini?" Tania mengawali pembicaraan saat telponnya dijawab. Beberapa menit kemudian wajahnya berubah terkejut, airmatanya menetes di kelopak matanya. Surya dan Rangga keheranan melihatnya.
"Ada apa, Tania?" tanya Surya bingung.
"Ri ... Rini, Mas." Ucapnya terbata-bata.
"Kenapa Rini, Tania?" Surya semakin penasaran.
"Rini baru saja meninggal kemarin, Mas. Tadi ibunya yang menjawab. Beliau menjelaskan kematian Rini yang tak wajar. Tubuhnya dikendalikan oleh 'Adinda' untuk memakan anak-anak berusia di bawah 10 tahun di desanya." Jelas Tania, terbersit raut ketakutan di wajahnya.
"Apa? Bagaimana bisa?!" Surya dan Rangga sama-sama terkejut.
"Beliau bilang, bahwa setelah pernikahan kakaknya, Rini didatangi Adinda dalam mimpi, Mas. Sudah 3 orang anak yang menjadi korbannya." Lanjut Tania.
"Itu berarti dia akan hidup 15 tahun lagi." Ujar Rangga.
"Iya, Tania. Dulu dia sempat mengatakan bahwa setiap anak yang dimakannya, akan memperpanjang usia nya selama 5 tahun." Sambung Surya.
"Tapi, Mas, bukannya Rini sudah meninggal? dan tubuh Adinda pun sudah kami kubur." Sahut Tania cemas.
"Dimana kau kubur jasad Adinda?" tanya Surya.
"Di samping gudang di belakang rumah, Mas."
"Ayo kita lihat sekarang, aku merasakan firasat buruk, Tania." Segera saja Surya, Rangga dan Tania menuju tempat dikuburnya jasad Adinda. Nihil. Gundukan tanah itu menjadi berlubang tanpa isi.
"Kita terlambat, Tania." Ujar Surya.
"Bagaimana ini, Mas? dia hidup kembali." Sahut Tania gemetaran.
"Tenang, Tante. Kita pasti bisa melenyapkannya." Ujar Rangga menenangkan.
"Iya, Ma. Aku mandi dulu ya, Mas." Ujar Hendro sambil berlalu kebelakang.
"Pembantumu belum ada kabar, Tania?" tanya Surya.
"Belum, Mas"
"Apa tidak kau coba menghubunginya?"
Sudah aku hubungi dari kemarin, tidak ada jawaban, Mas."
"Coba kau telpon sekarang." Ujar Surya. Tania pun mengambil Hp BB nya dan mengetik beberapa nomor.
"Tersambung, Mas." Ucap Tania.
"Halo, dengan Rini?" Tania mengawali pembicaraan saat telponnya dijawab. Beberapa menit kemudian wajahnya berubah terkejut, airmatanya menetes di kelopak matanya. Surya dan Rangga keheranan melihatnya.
"Ada apa, Tania?" tanya Surya bingung.
"Ri ... Rini, Mas." Ucapnya terbata-bata.
"Kenapa Rini, Tania?" Surya semakin penasaran.
"Rini baru saja meninggal kemarin, Mas. Tadi ibunya yang menjawab. Beliau menjelaskan kematian Rini yang tak wajar. Tubuhnya dikendalikan oleh 'Adinda' untuk memakan anak-anak berusia di bawah 10 tahun di desanya." Jelas Tania, terbersit raut ketakutan di wajahnya.
"Apa? Bagaimana bisa?!" Surya dan Rangga sama-sama terkejut.
"Beliau bilang, bahwa setelah pernikahan kakaknya, Rini didatangi Adinda dalam mimpi, Mas. Sudah 3 orang anak yang menjadi korbannya." Lanjut Tania.
"Itu berarti dia akan hidup 15 tahun lagi." Ujar Rangga.
"Iya, Tania. Dulu dia sempat mengatakan bahwa setiap anak yang dimakannya, akan memperpanjang usia nya selama 5 tahun." Sambung Surya.
"Tapi, Mas, bukannya Rini sudah meninggal? dan tubuh Adinda pun sudah kami kubur." Sahut Tania cemas.
"Dimana kau kubur jasad Adinda?" tanya Surya.
"Di samping gudang di belakang rumah, Mas."
"Ayo kita lihat sekarang, aku merasakan firasat buruk, Tania." Segera saja Surya, Rangga dan Tania menuju tempat dikuburnya jasad Adinda. Nihil. Gundukan tanah itu menjadi berlubang tanpa isi.
"Kita terlambat, Tania." Ujar Surya.
"Bagaimana ini, Mas? dia hidup kembali." Sahut Tania gemetaran.
"Tenang, Tante. Kita pasti bisa melenyapkannya." Ujar Rangga menenangkan.
Hendro yang baru saja selesai mandi, tak menyadari apa yang tengah terjadi di luar. Hendro membuka lemari kaca di kamarnya untuk mengambil pakaian yang akan dikenakannya. Saat lemari ditutup,
"A ... Adinda ?!" Hendro kaget melihat sosok Adinda telah berdiri di belakangnya, wajahnya dan tubuhnya penuh bercak darah kering.
"Ka ... kau sudah mati, Adinda." Ucapnya terbata-bata.
"Berkat Rini, aku bisa hidup kembali." Ucapnya lirih sangat mengerikan.
"Apa yang kau lakukan pada Rini?" tanya Hendro gemetar.
"Dengan tubuh Rini, aku berhasil memakan 3 orang anak manusia, dan dia telah mati. Kini giliranmu Hendro hahahaha ..." Adinda melesat cepat kearah Hendro dan bersiap menikamnya dengan pisau yang sudah digenggamnya.
Hendro berusaha lari kearah pintu, namun naas, langkahnya kalah cepat dengan Adinda.
"Aaaaaaaarrrggghh ...!!!" pisau Adinda sukses bersarang di jantungnya. Hendro terkapar bersimbah darah memenuhi tubuh dan handuknya.
"A ... Adinda ?!" Hendro kaget melihat sosok Adinda telah berdiri di belakangnya, wajahnya dan tubuhnya penuh bercak darah kering.
"Ka ... kau sudah mati, Adinda." Ucapnya terbata-bata.
"Berkat Rini, aku bisa hidup kembali." Ucapnya lirih sangat mengerikan.
"Apa yang kau lakukan pada Rini?" tanya Hendro gemetar.
"Dengan tubuh Rini, aku berhasil memakan 3 orang anak manusia, dan dia telah mati. Kini giliranmu Hendro hahahaha ..." Adinda melesat cepat kearah Hendro dan bersiap menikamnya dengan pisau yang sudah digenggamnya.
Hendro berusaha lari kearah pintu, namun naas, langkahnya kalah cepat dengan Adinda.
"Aaaaaaaarrrggghh ...!!!" pisau Adinda sukses bersarang di jantungnya. Hendro terkapar bersimbah darah memenuhi tubuh dan handuknya.
"Mas Hendro?! itu suara mas Hendro, Mas." Tania cemas mendengar teriakan Hendro.
"Ayo kita segera kekamar Hendro, Tania." Sahut Surya. Mereka bertiga segera menuju kekamar Hendro.
"Tidaaaaaaaaaakk ... gak mungkin ... mas Hendro gak mungkin ..." Tania histeris mendapati suaminya tergeletak tak bernyawa, dengan sebilah pisau menembus jantungnya.
"Pa, lihat itu." Ujar Rangga menunjuk pada lemari kaca, terdapat tulisan yang ditulis dengan darah.
'AKU DATANG UNTUK KALIAN'
"Ayo kita segera kekamar Hendro, Tania." Sahut Surya. Mereka bertiga segera menuju kekamar Hendro.
"Tidaaaaaaaaaakk ... gak mungkin ... mas Hendro gak mungkin ..." Tania histeris mendapati suaminya tergeletak tak bernyawa, dengan sebilah pisau menembus jantungnya.
"Pa, lihat itu." Ujar Rangga menunjuk pada lemari kaca, terdapat tulisan yang ditulis dengan darah.
'AKU DATANG UNTUK KALIAN'
"Ayo kita keluar dari sini, Rangga, Tania." Ajak Surya.
"Keluar kau wanita iblis, aku akan membunuhmu ..." Ujar Tania menantang. Kaca pada lemari dan jendela pun pecah seketika, angin berhembus kencang memasuki kamar.
Tap! lampu pun padam.
"Aaaaaaaarrrggghh ...." Tania menjerit.
"Tania, apa yang terjadi?" Surya terkejut namun tak ada jawaban.
"Rangga, tetap di samping Papa." Lanjutnya lagi.
"Iya, Pa." Sahut Rangga.
Lampu kembali menyala. Surya dan Rangga terperanjat melihat Tania sudah tak bernyawa dengan leher yang hampir putus. Matanya terbelalak.
"Rangga, ayo kita keluar dari sini." Surya mengajak anaknya keluar. Saat sampai di ruang tengah, Adinda muncul di depan mereka. Surya pun mundur.
"Rangga, cepat lari."
"Tapi aku gak mau Papa dibunuh olehnya, pasti ada jalan lain, Pa."
"Sudah cepat kau pergi, Rangga. Papa akan menahan dia!"
"Kalian takkan kubiarkan hidup hahahaha ..." Tawa Adinda menggetarkan kaca pada lemari pajangan di ruang tengah itu. Rangga melihat belati perak yang terjatuh dari lemari itu. Adinda langsung menyerang Surya, pisaunya diarahkan tepat kejantung Surya. Surya mengelak namun lengan kanannya terkena pisau Adinda. Darah mengucur dari lengannya. Adinda kembali menyerang Surya yang tersungkur karena menyandung meja.
"Matilah kau Surya hahaha ..." Adinda sudah mendekat kepada Surya dan siap menikamnya.
"Tidak semudah itu kau membunuh Papaku, Wanita iblis." Tanpa disadari Adinda, Rangga sudah berhasil menancapkan belati perak di jantungnya.
"Aaaaaaarrggghhh ...!!!" Adinda beringsut, tubuhnya kembali keriput. Dia meronta-ronta kesakitan seiring darahnya yang mengalir deras dari mata, hidung, telinga dan mulutnya. Dagingnya terkelupas sedikit demi sedikit lalu hilang menjadi abu. Rangga memeluk Papanya menyaksikan perubahan Adinda, hingga tubuh Adinda menjadi tulang dan kering menjadi abu. "Ini sudah berakhir, Pa." Ucap Rangga. "Terimakasih, Nak, kau sudah menyelamatkan Papa." Sahut Surya. "Hanya Papa yang aku punya, aku akan melindungi papa." Ujar Rangga menitikkan air mata.
"Keluar kau wanita iblis, aku akan membunuhmu ..." Ujar Tania menantang. Kaca pada lemari dan jendela pun pecah seketika, angin berhembus kencang memasuki kamar.
Tap! lampu pun padam.
"Aaaaaaaarrrggghh ...." Tania menjerit.
"Tania, apa yang terjadi?" Surya terkejut namun tak ada jawaban.
"Rangga, tetap di samping Papa." Lanjutnya lagi.
"Iya, Pa." Sahut Rangga.
Lampu kembali menyala. Surya dan Rangga terperanjat melihat Tania sudah tak bernyawa dengan leher yang hampir putus. Matanya terbelalak.
"Rangga, ayo kita keluar dari sini." Surya mengajak anaknya keluar. Saat sampai di ruang tengah, Adinda muncul di depan mereka. Surya pun mundur.
"Rangga, cepat lari."
"Tapi aku gak mau Papa dibunuh olehnya, pasti ada jalan lain, Pa."
"Sudah cepat kau pergi, Rangga. Papa akan menahan dia!"
"Kalian takkan kubiarkan hidup hahahaha ..." Tawa Adinda menggetarkan kaca pada lemari pajangan di ruang tengah itu. Rangga melihat belati perak yang terjatuh dari lemari itu. Adinda langsung menyerang Surya, pisaunya diarahkan tepat kejantung Surya. Surya mengelak namun lengan kanannya terkena pisau Adinda. Darah mengucur dari lengannya. Adinda kembali menyerang Surya yang tersungkur karena menyandung meja.
"Matilah kau Surya hahaha ..." Adinda sudah mendekat kepada Surya dan siap menikamnya.
"Tidak semudah itu kau membunuh Papaku, Wanita iblis." Tanpa disadari Adinda, Rangga sudah berhasil menancapkan belati perak di jantungnya.
"Aaaaaaarrggghhh ...!!!" Adinda beringsut, tubuhnya kembali keriput. Dia meronta-ronta kesakitan seiring darahnya yang mengalir deras dari mata, hidung, telinga dan mulutnya. Dagingnya terkelupas sedikit demi sedikit lalu hilang menjadi abu. Rangga memeluk Papanya menyaksikan perubahan Adinda, hingga tubuh Adinda menjadi tulang dan kering menjadi abu. "Ini sudah berakhir, Pa." Ucap Rangga. "Terimakasih, Nak, kau sudah menyelamatkan Papa." Sahut Surya. "Hanya Papa yang aku punya, aku akan melindungi papa." Ujar Rangga menitikkan air mata.
Terlihat dua gundukan yang masih basah berdampingan dengan sebuah gundukan kecil. Berdiri nisan bernamakan 'Tania binti Susilo', 'Nayla binti Hendro Sudrajat', dan 'Hendro Sudrajat bin Abdullah'.
"Selamat jalan Tania, Nayla, dan Hendro. Semoga kalian tenang dialam sana." Ujar Surya yang duduk di kursi roda dengan tangan kanannya terbalut perban. "Ayo kita pergi, Pa" Ujar Rangga mendorong kursi roda papanya. TAMAT
"Selamat jalan Tania, Nayla, dan Hendro. Semoga kalian tenang dialam sana." Ujar Surya yang duduk di kursi roda dengan tangan kanannya terbalut perban. "Ayo kita pergi, Pa" Ujar Rangga mendorong kursi roda papanya. TAMAT